Minggu, 25 Agustus 2013

Arogansi Islam Radikal Awal Kehancuran Mesir. Benarkah?

maps.google.com
 

Berawal dari dijatuhkannya Presiden Muhammed Mursi dari kursi kepresidenan tanggal 3 Juli 2013 oleh Junta Militer yang dipimpin oleh Abdul Fatah Al Sisi serta dibunuhnya para demonstran yang kontra Mursi membangkitkan bara perpecahan di negara Mesir yang berakibat ratusan nyawa melayang.

Sampai saat ini Mesir masih dilanda kisruh yang sepertinya belum ada titik perdamaian, di mana masing-masing kubu menunjukkan taringnya bahwa mereka adalah kelompok yang paling benar dan paling berhak mengatur negara dengan sistem yang dibentuk oleh kedua kubu yang bertikai. Dalam hal ini antara kubu militer dan nasionalis kontra Mursi dan pro Mursi yang cenderung didukung oleh kelompok militan dari jaringan Ikhwanul Muslimin.

Secara teologis, memang ikhwanul muslimin menganggap mereka adalah kelompok yang berjalan sesuai rule Islam dengan mengatakan bahwa kebijakan yang dilakukan pemerintah terdahulu lebih mendukung kebijakan barat sehingga Muhammed Mursi dan kelompoknya berusaha menjadikan mesir sebagai negara yang kontra Amerika dan Israel sehingga sulit bagi Mesir kala itu untuk menjalin hubungan yang dekat dengan kedua negara itu dengan alasan kepentingan Islam, bahkan dalam gerak-geriknya kepentingan Mursi dengan didukung oleh kelompok ikhwanul muslim menunjukkan jati diri mereka sebagai kelompok radikal, keras dan menolak mentah-mentah ideologi demokrasi karena dianggap sistem demokrasi tidak sesuai dengan hukum Islam. Meskipun terpilihnya presiden Mursi dengan cara demokrasi akan tetapi kebijakannya justru tidak menjiwai sistem demokrasi dan justru lebih keras kepada kelompok non muslim.

Bahkan dalam kebijakannya mereka cenderung memaksakan sistem yang menurut Mursi dan Ikhwanul Muslim sebagai nilai Islam sejati sehingga mereka beranggapan semua yang tidak berkiblat pada Islam harus mengikuti kepentingan Islam secara mentah-mentah tanpa menghargai adanya perbedaan pandangan dari kelompok non muslim padahal sepatutnya sistem pemerintahan akan berjalan jika menghargai perbedaan seperti sistem demokrasi dalam pemilihan presiden.

Akan tetapi dari sisi demografi penduduk Mesir dan Militer kontra Mursi cenderung menghendaki negara yang menginginkan demokrasi karena mereka beranggapan bahwa dengan demokrasi pembagian kekuasaan akan merata dan tidak melulu dimiliki oleh kelompok yang bersifat feodal dan tidak membagi kekuasaannya berdasarkan pilihan rakyat. Namun demikian ternyata demokrasi yang dibangun di negara Mesir ternyata tidak berjalan mulus sehingga akibatnya ada kepentingan-kepentingan tertentu yang justru meruncing perpecahan di Mesir.

Meski informasi masih silang pendapat apakah kudeta Ikhwanul Muslimin kala itu sudah sesuai dengan aspirasi masyarakat Mesir secara umum yang menginginkan perubahan geopolitik di dalam pemerintahannya atau justru kelompok militer kontra Mursi yang sebenarnya mempunyai sikap melindungi negaranya dari arogansi kelompok ikhwanul muslimin yang tergolong radikal.

Namun demikian, kepentingan politik di Mesir tidak jauh-jauh dengan model pemerintahan yang hendak dibentuk, di mana kelompok Ikhwanul Muslimin plus Pendukung Mursi menginginkan pemerintahan Mesir menganut sistem Islam yang radikal dengan melepaskan belenggu demokrasi sedangkan kubu militer yang cenderung nasionalis menghendaki pemerintahan Mesir dibangun dengan dasar demokrasi dan dianggap sistemnya dibangun dengan berkiblat ala Barat.

Namun, persoalan sebenarnya adalah ketidak relaan kelompok nasionalis dan militer ketika sistem pemerintahan mereka dirubah dan kebijakannya justru kontra barat padahal kita tahu era kepemimpinan Husni Mubarak cenderung membangun sistem pemerintahan dan politiknya dengan menjalin hubungan dengan Barat, akan tetapi di era Muhammad Mursi ini justru sebaliknya, menghendaki pemerintahan Mesir menjadi kontra Barat karena melihat segala bentuk penindasan yang dilakukan Yahudi Israel terhadap bangsa Palestina.

Lalu kenapa Arab Saudi justru mendukung kudeta Militer terhadap Mursi sedangkan Arab Saudi adalah negara yang memilki sistem politik Islam?

Melihat fenomena konflik tentu saja harus dilihat permasalahannya satu persatu, pertama meskipun kudeta itu merupakan tindakan inkonstitusional tapi naiknya Mursi sebenarnya karena faktor kudeta yang sama-sama memaksakan kehendak secara inkonstitusional sehingga tidak ada kepentingan apapun untuk Arab Saudi untuk menunjukkan sikap menolak kebijakan kudeta yang dilakukan militer mesir. Kedua, selama ini Arab Saudi tetap menginginkan apa yang dilakukan militer terhadap Mursi merupakan sesuatu yang benar demi menjaga stabilitas keamanan pemerintahan Mesir akan tetapi tindakan keras militer justru dinilai sebagai tindakan yang berlebihan dalam menangani masa pro Mursi. Sehingga banyak diberitakan bahwa tindakan militer terkesan sebagai pembantaian masyarakat.

Saat ini semua kelompok di Mesir merasa kelompok yang paling benar sehingga seperti tidak ada lagi ruang untuk melakukan perdamaian dua kelompok yang berbeda, padahal hakekatnya seburuk apapun kondisi politik di Mesir adalah kehancuran ekonomi Mesir seperti halnya yang terjadi di negara Suriah.
Jika masyarakat Mesir Pro Mursi dalam hal ini Ikhwanul Muslimin serta Kelompok Nasionalis dan militer kontra Mursi tidak saling damai maka tinggal menunggu akibat dari kehancuran Mesir. Lalu siapa yang paling diuntungkan?…

Penulis:

M. Ali Amiruddin, S.Ag.
Guru SLB Negeri Metro Lampung
Metro, 25 Agustus 2013