maps.google.com |
Berawal dari dijatuhkannya Presiden Muhammed
Mursi dari kursi kepresidenan tanggal 3 Juli 2013 oleh Junta Militer
yang dipimpin oleh Abdul Fatah Al Sisi serta dibunuhnya para demonstran
yang kontra Mursi membangkitkan bara perpecahan di negara Mesir yang
berakibat ratusan nyawa melayang.
Sampai saat ini Mesir masih dilanda kisruh yang
sepertinya belum ada titik perdamaian, di mana masing-masing kubu
menunjukkan taringnya bahwa mereka adalah kelompok yang paling benar dan
paling berhak mengatur negara dengan sistem yang dibentuk oleh kedua
kubu yang bertikai. Dalam hal ini antara kubu militer dan nasionalis
kontra Mursi dan pro Mursi yang cenderung didukung oleh kelompok militan
dari jaringan Ikhwanul Muslimin.
Secara teologis, memang ikhwanul muslimin
menganggap mereka adalah kelompok yang berjalan sesuai rule Islam dengan
mengatakan bahwa kebijakan yang dilakukan pemerintah terdahulu lebih
mendukung kebijakan barat sehingga Muhammed Mursi dan kelompoknya
berusaha menjadikan mesir sebagai negara yang kontra Amerika dan Israel
sehingga sulit bagi Mesir kala itu untuk menjalin hubungan yang dekat
dengan kedua negara itu dengan alasan kepentingan Islam, bahkan dalam
gerak-geriknya kepentingan Mursi dengan didukung oleh kelompok ikhwanul
muslim menunjukkan jati diri mereka sebagai kelompok radikal, keras dan
menolak mentah-mentah ideologi demokrasi karena dianggap sistem
demokrasi tidak sesuai dengan hukum Islam. Meskipun terpilihnya presiden
Mursi dengan cara demokrasi akan tetapi kebijakannya justru tidak
menjiwai sistem demokrasi dan justru lebih keras kepada kelompok non
muslim.
Bahkan dalam kebijakannya mereka cenderung
memaksakan sistem yang menurut Mursi dan Ikhwanul Muslim sebagai nilai
Islam sejati sehingga mereka beranggapan semua yang tidak berkiblat pada
Islam harus mengikuti kepentingan Islam secara mentah-mentah tanpa
menghargai adanya perbedaan pandangan dari kelompok non muslim padahal
sepatutnya sistem pemerintahan akan berjalan jika menghargai perbedaan
seperti sistem demokrasi dalam pemilihan presiden.
Akan tetapi dari sisi demografi penduduk Mesir dan
Militer kontra Mursi cenderung menghendaki negara yang menginginkan
demokrasi karena mereka beranggapan bahwa dengan demokrasi pembagian
kekuasaan akan merata dan tidak melulu dimiliki oleh kelompok yang
bersifat feodal dan tidak membagi kekuasaannya berdasarkan pilihan
rakyat. Namun demikian ternyata demokrasi yang dibangun di negara Mesir
ternyata tidak berjalan mulus sehingga akibatnya ada
kepentingan-kepentingan tertentu yang justru meruncing perpecahan di
Mesir.
Meski informasi masih silang pendapat apakah kudeta
Ikhwanul Muslimin kala itu sudah sesuai dengan aspirasi masyarakat
Mesir secara umum yang menginginkan perubahan geopolitik di dalam
pemerintahannya atau justru kelompok militer kontra Mursi yang
sebenarnya mempunyai sikap melindungi negaranya dari arogansi kelompok
ikhwanul muslimin yang tergolong radikal.
Namun demikian, kepentingan politik di Mesir tidak
jauh-jauh dengan model pemerintahan yang hendak dibentuk, di mana
kelompok Ikhwanul Muslimin plus Pendukung Mursi menginginkan
pemerintahan Mesir menganut sistem Islam yang radikal dengan melepaskan
belenggu demokrasi sedangkan kubu militer yang cenderung nasionalis
menghendaki pemerintahan Mesir dibangun dengan dasar demokrasi dan dianggap sistemnya dibangun dengan berkiblat ala Barat.
Namun, persoalan sebenarnya adalah ketidak relaan
kelompok nasionalis dan militer ketika sistem pemerintahan mereka
dirubah dan kebijakannya justru kontra barat padahal kita tahu era
kepemimpinan Husni Mubarak cenderung membangun sistem pemerintahan dan
politiknya dengan menjalin hubungan dengan Barat, akan tetapi di era
Muhammad Mursi ini justru sebaliknya, menghendaki pemerintahan Mesir
menjadi kontra Barat karena melihat segala bentuk penindasan yang
dilakukan Yahudi Israel terhadap bangsa Palestina.
Lalu kenapa Arab Saudi justru mendukung kudeta
Militer terhadap Mursi sedangkan Arab Saudi adalah negara yang memilki
sistem politik Islam?
Melihat fenomena konflik tentu saja harus dilihat
permasalahannya satu persatu, pertama meskipun kudeta itu merupakan
tindakan inkonstitusional tapi naiknya Mursi sebenarnya karena faktor
kudeta yang sama-sama memaksakan kehendak secara inkonstitusional
sehingga tidak ada kepentingan apapun untuk Arab Saudi untuk menunjukkan
sikap menolak kebijakan kudeta yang dilakukan militer mesir. Kedua,
selama ini Arab Saudi tetap menginginkan apa yang dilakukan militer
terhadap Mursi merupakan sesuatu yang benar demi menjaga stabilitas
keamanan pemerintahan Mesir akan tetapi tindakan keras militer justru
dinilai sebagai tindakan yang berlebihan dalam menangani masa pro Mursi.
Sehingga banyak diberitakan bahwa tindakan militer terkesan sebagai
pembantaian masyarakat.
Saat ini semua kelompok di Mesir merasa kelompok
yang paling benar sehingga seperti tidak ada lagi ruang untuk melakukan
perdamaian dua kelompok yang berbeda, padahal hakekatnya seburuk apapun
kondisi politik di Mesir adalah kehancuran ekonomi Mesir seperti halnya
yang terjadi di negara Suriah.
Jika masyarakat Mesir Pro Mursi dalam hal ini
Ikhwanul Muslimin serta Kelompok Nasionalis dan militer kontra Mursi
tidak saling damai maka tinggal menunggu akibat dari kehancuran Mesir.
Lalu siapa yang paling diuntungkan?…
Penulis:
M. Ali Amiruddin, S.Ag.
Guru SLB Negeri Metro Lampung
Metro, 25 Agustus 2013
Penulis:
M. Ali Amiruddin, S.Ag.
Guru SLB Negeri Metro Lampung
Metro, 25 Agustus 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar