Ilustrasi : Perceraian |
Tulisan ini terinspirasi dari kisah seorang guru, sebut
namanya Bunga (bukan nama sebenarnya) ia menjalani kehidupan rumah tangganya dengan
seorang suami tercinta. Suka, bahagia,kadang ada duka duka lara ia jalani,
bersanding dalam mengarungi mahligai cinta yang mereka bangun semenjak mereka
memulai catatan-catatan kehidupan bersama suaminya. Memang sungguh beruntung
bagi Bunga memiliki suami yang setampan dan se atletis itu. Sehingga, di
mana-mana sanjungan dan pujian selalu menghampirinya dan tentu saja suaminya
yang keren, menyebabkan dirinya tersudut karena banyak wanita yang menggoda
suaminya bahkan rela memberikan segala-galanya bagi mendapatkan cinta suaminya.
Pada awal pernikahan, di mana sebagai seorang istri
keindahan tubuh dan keelokan wajah masih terpaut dalam kehidupannya. Tentu
saja, karena usianya waktu menikah sekira 23 tahun menjadikannya terlihat
cantik dan menawan di hadapan suaminya. Hari-hari dijalani dengan penuh
pengabdian dan keharmonisan lantaran mereka merupakan pasangan pegawai negeri
yang tentu saja secara finansial amat tercukupi. Dan kebahagiaan tersebut
semakin kentara lantaran mereka dikarunai seorang anak perempuan yang cantik
rupawan.
Namun demikian, kehidupan memang tidak seperti yang
diharapkan. Kadang awalnya baik dan penuh dengan kebahagiaan harus berakhir
dengan kedukaan, sakit dan derita. Hal ini ia alami lantaran sang suami telah
mengidolakan wanita lain, dan wanita pujaannya pun memiliki rasa cinta yang
sama mendalam kepada suaminya. Ibarat gayung bersambut, ketika tanpa
sepengetahuan Bunga, suaminya nya telah berselingkuh dengan wanita idaman lain
(WIL) dan itu berlangsung hingga bertahun-tahun.
Bulan berganti bulan, tahun berganti tahun Bunga menjalani kehidupan
dengan rasa percaya diri. Dan rasa cinta itu semakin terpupuk karena suami tidak
menunjukkan sikap yang tidak wajar terhadap dirinya. Bahkan, sering kali
terkesan perhatian suaminya amat besar. Akan tetapi, tanpa disangka dan diduga
seorang superhero dalam keluarganya telah bermain mata dan bermain hati dengan
wanita lain. Bahkan yang lebih membuatnya miris karena wanita yang dicintai
suaminya adalah teman seprofesi dari kampung sebelah.
Tuhan berkehendak lain, meskipun perselingkuhan suaminya tak
pernah diketahuinya, akhirnya tanpa sengaja ia melihat suaminya sedang
bergandengan mesra dengan WIL. Tubuhnya mulai kaku, mulut tak dapat berbicara,
dan tubuhnya terbakar seperti tersambar petir. Rasa percaya diri dan
kepercayaan dirinya pada suaminya ternyata dibalas dengan dusta dan
penghianatan. Sedih, dan cucuran air mata tidak dapat dibendung lagi. Ibarat panas
setahun terhapus oleh hujan sehari, ibarat karena nila setitik rusak susu sebelanga.Itulah
kenyataan pahit yang ia hadapi, setelah sekian lama menautkan cinta yang dalam
dan perhatian yang tulus kepada suaminya kini harus dibalas dengan penghianatan
dan pembunuhan batin yang parah.
Hari itu adalah hari yang paling buruk selama berpuluh-puluh
tahun ia jalani dengan suaminya. Bagaimanapun juga, ia berusaha ikhlas dan
sabar menghadapi apa yang telah terjadi.
Dengan rasa kecewa, dan penderitaan batin, Bunga memutuskan
tetap menjalani kehidupan mereka meski suami telah menyakiti hatinya. Selain itu
ia sudah memiliki 6 orang anak sehingga tak mungkin juga melakukan perceraian
karena ada kekhawatiran dalam dirinya tidak dapat menjaga dan menjaga
anak-anaknya lantaran suami harus pergi. Karena pertimbangan itulah ia rela memaafkan
suaminya dan tetap tinggal bersamanya meski rasa cinta dan kepercayaan itu
mulai pudar.
Meski keikhlasan Bunga begitu besar, namun, hati tetaplah
hati. Luka dan rasa sakit yang dulu pernahmencederai hatinya kini tumbuh, dan keinginan berpisah
sudah tidak dapat dibendung lagi. Hal ini lantaran sikap suami tidak berubah, karena
masih saja suaminya berselingkuh dan main perempuan di belakangnya.
Akhirnya, karena beberapa tahun lewat, tepatnya ketika anak
kedelapan lahir, meski usia sudah mulai senja dan anak-anaknya sudah cukup
dewasa ia memutuskan untuk berpisah dengan suaminya.
Sedih dan kecewa menyatu dalam hati. Akan tetapi, mungkin
inilah jalan yang harus ia tempuh demi menjaga perasaan anak-anaknya akibat rasa
malu melihat sikap suaminya yang tidak juga berubah.
Memang ujian Tuhan tidak terbatas, rasa sedih makin menjadi
lantaran anak bungsu ternyata mengalami disabilitas, tidak mampu mendengar dan
berbicara, disebabkan ketika lahir dokter melakukan mall praktek akibat diagnosa terhadap penyakit anaknya
keliru yang berakibat obat yang dikonsumsi anaknya ternyata salah sasaran, sehingga
pengaruh buruk pun dirasakan oleh anak bungsunya tersebut.
Awal perpisahan terasa berat dengan menanggung malu dan
beban hidup yang juga amat berat baginya karena harus menghidupi delapan anak.
Tapi, Tuhan tetaplah Maha Adil, dalam kesendirian ternyata ia mampu mendidik
dan menyekolahkan anaknya hingga perguruan tinggi. Dan apa yang menjadikan
dirinya bisa melupakan kisah pilunya ternyata anaknya adalah anak yang baik serta
berprestasi sehingga mampu bersaing di perlombaan Olimpiade Tingkat Nasional.
******
NB: Tulisan ini terinspirasi dari kisah seorang guru yang
anaknya mengikuti lomba OSN ke 12 tahun 2013 di Bandung.