Ilustrasi : Siswa Madrasah / republika.co.id |
Seringkali kita melihat secara
langsung maupun melalui siaran berita tv begitu banyaknya anak-anak
sekolah yang melakukan tawuran di jalan raya, tidak hanya setingkat
sekolah dasar, sekolah tinggipun tidak ketinggalan. Aktifitasnya juga
dapat dibilang teratur, hal ini terlihat hampir setiap hari anak-anak
ini terlibat adu jotos, bahkan di antara anak-anak yang bersitegang
harus meregang nyawa. Kondisi ini pun tidak hanya terjadi di ibukota
yang notabene rutin terjadi tawuran. Bahkan di daerah-daerah tidak kalah
ketinggalan melakukan pelanggaran aturan sekolah yang semestinya tidak
dilakukan.
Tidak sampai di situ, banyak juga
anak-anak usia sekolah yang terbiasa melakukan sex bebas, penggunaan
narkotika, minim-minuman keras, merokok, bahkan ada pula yang terlibat
aksi kejahatan dan anehnya tidak sedikit yang secara terbuka dan
terang-terang diekspos dimedia massa. Tentu saja kenyataan ini amat
memprihatinkan dan tentusaja menjadi problem dan tanda tanya besar
bagaimana sebenarnya program pendidikan kita.
Jika dilihat akar permasalahannya
sebenarnya konflik anak sekolah ini didasarkan pada bentuk pendidikan
kita yang seakan-akan kering nilai agama dan keteladanan. Sehingga
semakin lama semakin terlihat peningkatan tingkat kejahatan yang
melibatkan anak-anak sekolah yang tentunya membuat orang tua mengelus
dada, khawatir sekaligus prihatin dengan kondisi yang semakin lama
semakin runyam.
Sebagaimana dalam kurikulum sekolah
umum, rata-rata mereka mendapatkan dua jam pelajaran dalam seminggu
itupun dikurangi lima menit setiap pertemuan, selain hanya dua jam
ternyata dalam proses pembelajarannya justru hanya mementingkan aspek
kognitif saja dan melupakan aspek afektif maupun psikomotorik. Jadi
akibatnya meskipun anak-anak sekolah ini cerdas di sekolah ternyata
tidak berbanding lurus dengan tingkat akhlaknya di sekolah, di rumah
maupun di lingkungan sekitar.
Jika dilihat dari prestasi sekolah,
anak-anak yang melakukan tawuran, nilai ujian mereka tidak kurang dari 7
(tujuh) akan tetapi faktanya kenakalan mereka malah lebih mendominasi
aktifitas harian dan seakan-akan nilai yang diperoleh disekolah tidak
memberikan manfaat sama sekali dengan prilakunya.
Kenapa ini bisa terjadi? Apakah saat ini
sekolah umum tidak dapat menjadi tolok ukur keberhasilan dalam
pendidikan prilaku melihat minimnya pendidikan agama?
Jika melihat persoalan di atas tentu
saja membutuhkan kajian yang tidak sedikit, lantaran banyak idiom dan
indikasi yang ikut terlibat dalam pembentukan budi pekerti anak.
Anak sekolah merupakan aset berharga
yang tidak dapat dianggap sepele atau dianggap persoalan gampangan di
mana dalam menangani aset ini pun tidak dapat dilakukan dengan
serampangan, yakni musti diawali dari asal mula anak ini hadir, yakni
lingkungan keluarga. Ada banyak kejadian kenakalan bahkan kriminalisasi
yang melibatkan anak-anak sekolah, di mana rata-rata mereka berasal dari
keluarga yang kurang bahagia, sedikitnya perhatian, dan tidak
tercukupinya kebutuhan kasih sayang dari orang-orang di sekitarnya.
Kurang bahagia ini bisa berasal dari
keluarga yang mampu, akan tetapi karena perhatian kepada anak-anak
mereka sangat kurang akibatnya, anak-anak sekolah ini berusaha mencari
teman, tempat curhat bahkan mencari komunitas yang dapat dijadikan
solusi kesepian mereka. Jika anak-anak ini mendapatkan tempat yang layak
tentu masalahnya tidak rumit, akan tetapi jika anak-anak ini
mendapatkan tempat berkomunikasi yang tidak layak maka akibatnya
detik-demi detik pengetahuan dan pengalaman baru yang tergolong
menyimpang amat mudah mereka dapatkan. Akibatnya tentu prilaku yang
semakin lama semakin tidak terkendali menghinggapi anak-anak yang tidak
berdosa namun menjadi korban akibat dosa orang tuanya disebabkan tidak
begitu memperdulikan anak-anaknya.
Ada pula ketidak mampuan keluarga
berdasarkan kondisi ekonomi, di mana orang tua mereka justru lebih
banyak mencari kebutuhan sehari-hari meski meninggalkan anak-anaknya
dirumah tanpa pengawasan yang baik. Bahkan yang lebih miris lagi ketika
anak-anak harus mendapatkan perlakuan yang tidak senonoh dari
orang-orang di lingkungan mereka seperti mengikutsertakan anak dalam
dunia kejahatan atau mengajak anak-anak untuk mengemis di jalanan.
Sungguh keadaan ini amat
mengkhawatirkan, di mana anak-anak sekolah yang semestinya menjadi aset
berharga justru menjadi sumber petaka, ibarat bom waktu yang suatu saat
akan meledak seiring semakin bertambahnya usia mereka dan tingkat pola
prilaku menyimpang yang terjadi pada anak-anak.
Faktor lain selain keluarga adalah
lembaga pendidikan. Seperti yang saya sebutkan tadi rata-rata kurikulum
di Indonesia hanya menempatkan agama sebagai pelengkap materi pelajaran
di sekolah, dan tidak menjadikannya sebagai materi pokok yang harus
diajarkan di sekolah. Karena keadaan ini mau ataupun tidak anak-anak
hanya mendapatkan pendidikan agama yang sedikit sekali dibandingkan
dengan mata pelajaran lain yang kurang bersinggungan dengan kerohanian.
Akibat dari sedikitnya kurikulum
memfasilitasi pendidikan agama di sekolah adalah anak-anak yang cerdas
dari segi pengetahuan umum namun mereka lemah dari sudut agama dan budi
pekerti yang mulia.
Jika dilihat dari faktor pelanggaran
anak-anak sekolah baik pelanggaran aturan sekolah maupun perbuatan
kriminal justru sedikit sekali menimpa anak-anak dari sekolah madrasah.
Hal ini disebabkan dalam sekolah madrasah, mata pelajaran agama sangat
mendominasi struktur materi pelajarannya dibandingkan pelajaran umum.
Akibatnya justru anak-anak akan lebih banyak menerima pendidikan yang
bernuansa keteladanan dan budipekerti dibandingkan sekolah-sekolah umum
lainnya.
Fakta ini menjadi pondasi penilaian bagi
masyarakat bahwa sekolah agama (madrasah) tidak dapat dipandang sebelah
mata. Hal ini terjadi karena selama ini orang tua justru lebih percaya
dengan sekolah reguler bukan madrasah lantaran mereka mengganggap
dengan mereka menyekolahkan anaknya di SMU / SMK akan lebih menjanjikan
dari segi masa depannya dibandingkan disekolahkan di madrasah. Tentu
saja anggapan ini sangat keliru, karena berdasarkan prestasi akademik
tidak sedikit anak-anak madrasah yang menjuarai lomba sain
internasional, penemu dalam bidang IPA (Biologi, FIsika maupun Kimia)
dan seabrek prestasi yang diperoleh anak-anak madrasah yang tentu saja
diakui di tingkat dunia.
Selain itu banyak tokoh-tokoh publik
yang dilahirkan dari madrasah dan mereka memberikan sumbangsih dari segi
pengetahuannya demi kemajuan negeri ini yang tentu saja tidak dapat
disebutkan satu persatu. Namun demikian memang tidak dapat dipungkiri
keberadaan sekolah madrasah unggulan masih sedikit dibandingkan sekolah
reguler yang tentu saja akan mempengaruhi kualitas pendidikan agamanya.