Sabtu, 30 November 2013

Madrasah Tetap Menjadi Sekolah Teladan

13787076761790565938
Ilustrasi : Siswa Madrasah / republika.co.id



Seringkali kita melihat secara langsung maupun melalui siaran berita tv begitu banyaknya anak-anak sekolah yang melakukan tawuran di jalan raya, tidak hanya setingkat sekolah dasar, sekolah tinggipun tidak ketinggalan. Aktifitasnya juga dapat dibilang teratur, hal ini terlihat hampir setiap hari anak-anak ini terlibat adu jotos, bahkan di antara anak-anak yang bersitegang harus meregang nyawa. Kondisi ini pun tidak hanya terjadi di ibukota yang notabene rutin terjadi tawuran. Bahkan di daerah-daerah tidak kalah ketinggalan melakukan pelanggaran aturan sekolah yang semestinya tidak dilakukan.

Tidak sampai di situ, banyak juga anak-anak usia sekolah yang terbiasa melakukan sex bebas, penggunaan narkotika, minim-minuman keras, merokok, bahkan ada pula yang terlibat aksi kejahatan dan anehnya tidak sedikit yang secara terbuka dan terang-terang diekspos dimedia massa. Tentu saja kenyataan ini amat memprihatinkan dan tentusaja menjadi problem dan tanda tanya besar bagaimana sebenarnya program pendidikan kita.

Jika dilihat akar permasalahannya sebenarnya konflik anak sekolah ini didasarkan pada bentuk pendidikan kita yang seakan-akan kering nilai agama dan keteladanan. Sehingga semakin lama semakin terlihat peningkatan tingkat kejahatan yang melibatkan anak-anak sekolah yang tentunya membuat orang tua mengelus dada, khawatir sekaligus prihatin dengan kondisi yang semakin lama semakin runyam.

Sebagaimana dalam kurikulum sekolah umum, rata-rata mereka mendapatkan dua jam pelajaran dalam seminggu itupun dikurangi lima menit setiap pertemuan, selain hanya dua jam ternyata dalam proses pembelajarannya justru hanya mementingkan aspek kognitif saja dan melupakan aspek afektif maupun psikomotorik. Jadi akibatnya meskipun anak-anak sekolah ini cerdas di sekolah ternyata tidak berbanding lurus dengan tingkat akhlaknya di sekolah, di rumah maupun di lingkungan sekitar.

Jika dilihat dari prestasi sekolah, anak-anak yang melakukan tawuran, nilai ujian mereka tidak kurang dari 7 (tujuh) akan tetapi faktanya kenakalan mereka malah lebih mendominasi aktifitas harian dan seakan-akan nilai yang diperoleh disekolah tidak memberikan manfaat sama sekali dengan prilakunya.

Kenapa ini bisa terjadi? Apakah saat ini sekolah umum tidak dapat menjadi tolok ukur keberhasilan dalam pendidikan prilaku melihat minimnya pendidikan agama?

Jika melihat persoalan di atas tentu saja membutuhkan kajian yang tidak sedikit, lantaran banyak idiom dan indikasi yang ikut terlibat dalam pembentukan budi pekerti anak.

Anak sekolah merupakan aset berharga yang tidak dapat dianggap sepele atau dianggap persoalan gampangan di mana dalam menangani aset ini pun tidak dapat dilakukan dengan serampangan, yakni musti diawali dari asal mula anak ini hadir, yakni lingkungan keluarga. Ada banyak kejadian kenakalan bahkan kriminalisasi yang melibatkan anak-anak sekolah, di mana rata-rata mereka berasal dari keluarga yang kurang bahagia, sedikitnya perhatian, dan tidak tercukupinya kebutuhan kasih sayang dari orang-orang di sekitarnya.

Kurang bahagia ini bisa berasal dari keluarga yang mampu, akan tetapi karena perhatian kepada anak-anak mereka sangat kurang akibatnya, anak-anak sekolah ini berusaha mencari teman, tempat curhat bahkan mencari komunitas yang dapat dijadikan solusi kesepian mereka. Jika anak-anak ini mendapatkan tempat yang layak tentu masalahnya tidak rumit, akan tetapi jika anak-anak ini mendapatkan tempat berkomunikasi yang tidak layak maka akibatnya detik-demi detik pengetahuan dan pengalaman baru yang tergolong menyimpang amat mudah mereka dapatkan. Akibatnya tentu prilaku yang semakin lama semakin tidak terkendali menghinggapi anak-anak yang tidak berdosa namun menjadi korban akibat dosa orang tuanya disebabkan tidak begitu memperdulikan anak-anaknya.

Ada pula ketidak mampuan keluarga berdasarkan kondisi ekonomi, di mana orang tua mereka justru lebih banyak mencari kebutuhan sehari-hari meski meninggalkan anak-anaknya dirumah tanpa pengawasan yang baik. Bahkan yang lebih miris lagi ketika anak-anak harus mendapatkan perlakuan yang tidak senonoh dari orang-orang di lingkungan mereka seperti mengikutsertakan anak dalam dunia kejahatan atau mengajak anak-anak untuk mengemis di jalanan.

Sungguh keadaan ini amat mengkhawatirkan, di mana anak-anak sekolah yang semestinya menjadi aset berharga justru menjadi sumber petaka, ibarat bom waktu yang suatu saat akan meledak seiring semakin bertambahnya usia mereka dan tingkat pola prilaku menyimpang yang terjadi pada anak-anak.

Faktor lain selain keluarga adalah lembaga pendidikan. Seperti yang saya sebutkan tadi rata-rata kurikulum di Indonesia hanya menempatkan agama sebagai pelengkap materi pelajaran di sekolah, dan tidak menjadikannya sebagai materi pokok yang harus diajarkan di sekolah. Karena keadaan ini mau ataupun tidak anak-anak hanya mendapatkan pendidikan agama yang sedikit sekali dibandingkan dengan mata pelajaran lain yang kurang bersinggungan dengan kerohanian.

Akibat dari sedikitnya kurikulum memfasilitasi pendidikan agama di sekolah adalah anak-anak yang cerdas dari segi pengetahuan umum namun mereka lemah dari sudut agama dan budi pekerti yang mulia.
Jika dilihat dari faktor pelanggaran anak-anak sekolah baik pelanggaran aturan sekolah maupun perbuatan kriminal justru sedikit sekali menimpa anak-anak dari sekolah madrasah. Hal ini disebabkan dalam sekolah madrasah, mata pelajaran agama sangat mendominasi struktur materi pelajarannya dibandingkan pelajaran umum. Akibatnya justru anak-anak akan lebih banyak menerima pendidikan yang bernuansa keteladanan dan budipekerti dibandingkan sekolah-sekolah umum lainnya.

Fakta ini menjadi pondasi penilaian bagi masyarakat bahwa sekolah agama (madrasah) tidak dapat dipandang sebelah mata. Hal  ini terjadi karena selama ini orang tua justru lebih percaya dengan sekolah reguler bukan madrasah lantaran mereka mengganggap dengan mereka menyekolahkan anaknya di SMU / SMK akan lebih menjanjikan dari segi masa depannya dibandingkan disekolahkan di madrasah. Tentu saja anggapan ini sangat keliru, karena berdasarkan prestasi akademik tidak sedikit anak-anak madrasah yang menjuarai lomba sain internasional, penemu dalam bidang IPA (Biologi, FIsika maupun Kimia) dan seabrek prestasi yang diperoleh anak-anak madrasah yang tentu saja diakui di tingkat dunia.

Selain itu banyak tokoh-tokoh publik yang dilahirkan dari madrasah dan mereka memberikan sumbangsih dari segi pengetahuannya demi kemajuan negeri ini yang tentu saja tidak dapat disebutkan satu persatu. Namun demikian memang tidak dapat dipungkiri keberadaan sekolah madrasah unggulan masih sedikit dibandingkan sekolah reguler yang tentu saja akan mempengaruhi kualitas pendidikan agamanya.

Salam


Jumat, 29 November 2013

Polwan Berjilbab, Semoga Karena Ibadah dan Bukan Latah


Polwan Berjilbab / Republika.co.id


Trending berita beberapa hari ini adalah menyangkut dikenakakannya jilbab oleh Polwan di satuan POLRI yang tentunya isu tentang permohonan diperbolehkannya jilbab oleh seorang anggota kepolisian sudah banyak dilakukan oleh polisi wanita di luar negeri. Karena keberadaan jilbab yang nota bene merupakan identitas Islam sepertinya sudah menjadi identitas tersendiri bagi aparat keamanan dari jenis kelamin perempuan. Walaupun pemakaian jilbab mendapatkan tanggapan yang beragam baik berupa tanggapan yang menilai positif penggunaan hijab atau kerudung ini dalam dinas kepolisian atau bahkan sebaliknya berisi sangkaan negatif.

Beberapa tanggapan positif dan negatif yang muncul baik di tengah masyarakat maupun di jagat media adalah disebabkan karena Indonesia merupakan negara yang menganut bermacam-macam  agama. Sehingga dengan penggunaan jilbab tersebut terkesan Indonesia telah di-Islamkan. Padahal kita tahu kebebasan beragama amat dijunjung tinggi dalam negara berbhineka tunggal ika ini. Apalagi saat ini pemakaian jilbab merupakan sebuah trend positif dan budaya yang patut dilestarikan. Meskipun seorang berjilbab tidak menjamin seseorang itu benar-benar seorang muslim, lantaran ada banyak pelecehan terhadap Islam lantaran aksi kejahatan yang dilakukan oleh seseorang yang berjilbab. Sehingga tidak menjamin perempuan yang berjilbab adalah seorang muslim. Setuju kan?

Penggunaan jilbab di Indonesia bagi pekerja pemerintah khususnya aparat kepolisian sejatinya sudah dilakukan oleh kepolisian di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) karena di Provisinsi di paling barat Indonesia ini memang dari awal bersikukuh ingin menerapkan syariat Islam dengan sebenar-benarnya. Sehingga pantas saja NAD menjadi provinsi yang mendapatkan spesialisasi tertentu terhadap penerapan ajaran agama Islam. Begitu pula dengan negara-negara di kawasan Timur Tengah di mana karena undang-undang dan hukum yang dianut rata-rata adalah hukum Islam maka secara otomatis para Polwan pun memakai jilbab karena terikat dengan aturan yang berlaku di sana.

Kembali pada persoalan penggunaan jilbab yang menurut bahasa lain disebut hijab hakekatnya merupakan sarana untuk menutup aurat bagi muslim perempuan. Tidak memandang siapa dan darimana mereka berasal bahkan tidak memandang jenis apa pekerjaan mereka. Sehingga penggunaan jilbab ini amatlah mutlak diwajibkan oleh seorang muslimah. Akan tetapi karena memang pemahaman tentang kewajiban berjilbab serta jenis jilbabnya masih penuh pro dan kontra antara wajib dan sunnah makanya sejak dari dahulu penggunaan jilbab ini tidak diwajibkan di Indonesia. Namun akhir-akhir ini karena semakin banyaknya aksi kekerasan terhadap perempuan maka menuntut dipergunakannya jilbab dalam kehidupan sehari-hari. Tentu saja tujuannya untuk menghindari maksiat bagi seorang laki-laki dan kejahatan pelecehan seksual bagi seorang perempuan.

Akan tetapi bagi seorang polisi wanita, apakah penggunaan jilbab ini efektif jika dikaitkan dengan penghindaran terhadap perkara kemaksiatan? Tentu saja hal ini juga tidak perlu menjadi permasalahan lantaran dalam berdinaspun seorang perempuan dapat menyentuh lawan jenisnya dalam tanda kutip bukan berzina. Karena bersentuhan kulit  ketika bertugas adalah dima’fu’ atau dimaafkan. Seperti halnya seorang dokter wanita yang tengah mengobati pasien laki-laki yang tentu saja dapat melihat bahkan menyentuh aurat pasiennya.

Selain tidak perlu ada kekhawatiran terkait bersentuhannya seorang polisi wanita dengan korban atau pelaku kejahatan sejatinya ada banyak media yang dapat digunakan oleh seorang polisi seperti adanya sarung tangan yang jelas-jelas menghindari bersentuhannya kulit dengan yang bukan mukhrim, menghindari bersentuhan merupakan bagian dari menjaga kesucian wanita muslim atas kaum adam. 

Berjilbab jangan karena latah tapi murni ibadah

Sekali lagi bahwa penggunaan jilbab merupakan syariat agama Islam, dengan tujuan untuk semata-mata menutup aurat dan menunjukkan bukti sebagai pengabdian sebagai seorang muslim. Walaupun ada yang beranggapan bahwa penggunaan jilbab sebagai budaya bangsa Arab, akan tetapi hakekatnya menjaga kesucian wanita dari pandangan pria yang bukan mukhrim adalah diwajibkan.

Oleh karena itu barangsiapa yang mengamalkan ajaran pemakaian jilbab ini tentu saja satu bentuk pengabdian kepada Allah SWT dan ajaran Nabi Muhammad SAW. Apalagi saat ini ada banyak pelecehan seksual yang terjadi pada kaum hawa akibat ulah dari sebagaian pria yang terangsang dengan ulah para wanita yang suka mengumbar aurat. Korbannya tidak hanya wanita yang “telanjang” saja akan tetapi wanita berjilbab pun menjadi korbannya. Sehingga pemakaian jilbab ini merupakan langkah nyata menjaga kesucian wanita dan menghindarkan diri dari syahwat seorang pria.

Sebagai institusi yang sarat dengan beban tugas yang berat, sejatinya penggunaan jilbab tidak semata-mata karena takut dibilang tidak islami, karena hakekatnya Islam itu tidak hanya ditunjukkan oleh pemakaian jilbab, karena sejatinya pembentukan kepribadian berasal dari dalam qalbu (hati) yang senantiasa terjaga kesuciannya.

Sehingga dengan menggunakan jilbab semestinya juga harus menutupi seluruh bagian tubuh wanita, termasuk menjaga kemaluan dan tentu saja menjaga hatinya. Toh, akhir-akhir ini ada banyak prilaku masyarakat berjilbab yang ternyata jauh dari nilai-nilai Islam yang kaffah, mereka menilai memakai jilbab hanya seputar trend berpakaian tapi kering dari sisi hakekat.

Rambutnya ditutupi jilbab tapi bagian tubuh yang lain ternyata diumbar dan yang lebih buruk lagi ketika rajin memakai jilbab tapi hatinya penuh iri dan kedengkian. Sehingga akhir-akhir ini ada banyak kaum perempuan yang tidak menunjukkan etika ke-jilbab-annya sebagai wanita shalehah akan tetapi menggunakan jilbab hanya sebagai kedok semata. Sesuatu yang naif dan sangat-sangat memalukan.

Pemakaian jilbab bagi seorang Polwan hakekatnya juga harus pula sebagai bagian gaya hidup yang baik dan pola prilaku yang mengikuti bagaimana mereka berpakaian. Jangan sekedar pamer mode dan unjuk model baru dalam berpakaian. Dan tidak pula latah karena ikut-ikutan gaya wanita muslim kekini-kinian. Jadi ketika mereka menunjukkan keshalehannya dalam berpakaian semestinya juga menunjukkan keshalehannya dalam berprilaku dan berkepribadian.

Wassalam