Rabu, 15 Mei 2013

Fenomena Konflik Sosial dan Bagaimana Penanganannya?

Indonesia sebagai negara yang berpenduduk kompleks, memiliki beraneka ragam suku, adat-istiadat, bahasa dan agama menjadikan banyak gesekan-gesekan sosial yang tidak dapat dihindarkan. Hal ini disebabkan karena pemahaman akan makna kebhinekaan dalam bernegara masih sering dipahami berbeda oleh penduduk negara yang besar ini.

Adanya kebhinekaan dalam berbagai aspek kehidupan, tidak menjadi satu-satunya penyebab gesekan sosial di tengah kehidupan berbangsa dan bernegara, akan tetapi, perbedaan masyarakat dalam memahami agama lebih cenderung mengakibatkan masyarakat lebih bersikap eksklusif, tertutup dan lari dari kenyataan bahwa umat manusia diciptakan berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya saling mengenal.

Sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur'an Surat Al-Hujurat ayat 13 sebagai berikut:


يا أيها الناس إنا خلقناكم من ذكر وأنثى وجعلناكم شعوبا وقبائل لتعارفوا إن أكرمكم عند الله أتقاكم إن الله عليم خبير


Artinya:


Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.

Ayat tersebut sangat jelas mengambarkan betapa anak cucu Adam sangatlah bermacam-macam dan tersebar ke seluruh penjuru bumi itu merupakan Sunatullah yang tidak dapat dipungkiri terjadinya. Bagaimana Allah SWT memberikan pesan yang nyata jika manusia tidak dapat mengingkari adanya perbedaan itu. Akan tetapi, kenapa akhir-akhir ini banyak timbul tawuran, dan kerusuhan yang kadang kala terpicu pada hal-hal yang sederhana, misalnya salah memahami perkataan dan sikap orang-orang tertentu dan lebih aneh lagi terkadang pesan-pesan provokasi disebarkan oleh pihak-pihak tertentu yang tidak jelas dengan maksud ingin mengambil keuntungan dari setiap kekacauan di negeri ini. 

Jika ditelaah lebih mendalam bagaimana Negara Kesatuan Republik Indonesia dibangun atas dasar kesamaan tujuan dan keinginan untuk membangun negara yang bebas, merdeka, adil dan makmur sebagaimana tercantum dalam Pancasila Sila ke-3 "Persatuan Indonesia"  juga termaktub dalam UUD 1945 baik dalam Pembukaan maupun dalam batang tubuhnya.

Betapa sulitnya pendiri bangsa ini mewujudkan negara yang bebas dari jajahan bangsa lain? Dan betapa naifnya generasi penerusnya yang justru akan menghancurkan cita-cita negeri yang sudah digagas para pendahulunya.

Adanya tawuran, kerusuhan antar desa, perang suku dan perebutan wilayah dengan mengatasnamakan "Tanah Nenek Moyang", dan pertumpahan darah yang tidak berujung seperti sebuah sekenario yang sengaja disebarkan dan disulut sebagai bentuk cita-cita penghancuran generasi secara terselubung.

Bukan bermaksud menjustifikasi, setelah runtuhnya era Orde Baru dan munculnya Era Reformasi ternyata mengundang arus perubahan yang sangat fundamental, hal ini dibuktikan semakin banyak orang yang bisa berbicara, berpendapat, dan bersikap yang sering keluar dari ranah budi pekerti yang luhur. Memang tidak dapat disalahkan, kebebasan adalah hak setiap warga negara, namun ternyata kebebasan itu diartikan dengan salah kaprah seakan-akan pedoman bernegara, hukum dan tata susila serta agama yang tersusun rapi dalam bait-bait ayat-ayat suci sudah tidak lagi menjadi pedoman yang ditakuti tapi hanya tontonan yang dianggap angin lalu.

Adanya arus perubahan ini memang berbuntut pada mudahnya orang menyebarkan isu-isu dan ide-ide yang cenderung banyak diserap "orang kebanyakan" sebagai pedoman yang sering kali menjadi sarana perpecahan umat dan bangsa seperti halnya adanya keharusan Khilafah Islamiyah atau mengembalikan kekhalifanan umat jaman dahulu dan menganggap hukum negara dan segala yang diatur dalam negara adalah tidak benar. Yang pada akhirnya setiap aturan hukum yang dibuat oleh manusia "negara" dianggap sudah tidak berlalu lagi yang ada adalah pembangkangan terhadap hukum negara.

Apa sebenarnya yang mennjadi akar permasalahanya? Bagaimana umat Islam membaca dan mempelajari setiap transisi di negeri ini? Lalu bagaimana kaum agamawan, rohaniawan dan tokoh agama serta pendidik mengatasi masalah ini? Pertanyaan inilah yang sampai saat ini yang semestinya dicari solusinya.

Membaca permasalah tadi sebenarnya dapat diambil tiga dimensi yang mestinya menjadi pelaku utama dalam proses "pengobatan" peradaban masyarakat yang kian hari kian carut marut.

Pemerintah dan aparat di bawahnya adalah stake holder yang memiliki peran penting dalam setiap perubahan masyarakatnya, bagaimana pemerintah mengendalikan setiap perubahan siklus masyarakat yang menjadi lebih agresif dan cenderung ingin cepat melakukan perubahan baik dalam tataran hukum maupun bagaimana pemerintah menanggapi masalah-masalah ditingkat grassroot.

Lambannya memahami, nenangkap, serta menyelesaikan masalah di tingkat grassroot (masyarakat tingkat bawah) menjadi sumber utama konflik horisontal maupun vertikal. Konflik vertikal mungkin pemerintah mudah mengeluarkan kebijakan dan tindakan yang segera dapat dilaksanakan masyarakat secara umum karena peraturan perundang-undangan adalah milik pemerintah. Akan tetapi kemampuan ini sering kali terganjal dan terhalang oleh peraturan pemerintah daerah yang memiliki otonomi sendiri yang lebih banyak tidak mau "dicampuri" oleh pemerintah pusat sehingga sebaik apapun pemerintah pusat memberikan kebijakan yang pro rakyat seringkali hilang atau tak berlaku jika sudah sampai di daerah.

Jika menilik masalah konflik horisontal akan ditemukan banyaknya hukum dan aturan adat daerah tertentu yang selama ini sedikit bersinggungan dengan masalah-masalah yang ada. Seperti halnya tawuran antar kampung disebabkan karena kasus sengketa tanah perbatasan yang cenderung tidak diselesaikan dengan cepat bahkan terkesan mengabaikan rasa keadilan. Kerusuhan dan perusakan disebabkan karena tindakan ekskusi masyarkat terhadap pelaku kejahatan meskipun terkadang salah dalam menghakimi pelaku menyebabkan pertentangan yang semakin besar. Ini sebenarnya tidak terlepas dari peran pemerintah daerah yang lebih banyak "berdiam diri" melihat masalah-masalah yang ada.

Banyaknya kasus kekerasan pelajar, perkosaan dan pelecehan seksual lainnya merupakan imbas dari terlalu terbukanya kran kebebasan informasi yang digulirkan, hingga pada akhirnya banyak orang yang begitu mudah mengakses adegan kekerasan dan pelecehan di media internet, media cetak dan televisi yang notabene pemirsanya adalah orang dewasa bahkan anak-anak TK sekalipun yang belum sama sekali memahami informasi yang diberikan.

Lalu bagaimana sikap negara dalam hal ini pemerintah pusat dan daerah mengatasi masalah ini?
Pertama, Perlu adanya ketegasan pemerintah dan wakil rakyat lainnya untuk segera membuat kebijakan yang lebih kuat terlepas dari masalah otonomi daerah mestinya pemerintah pusat tetap memiliki power untuk mengatur pemerintah daerah khususnya dalam penanganan konflik horizontal. Kepekaan dalam menangkap informasi dan ketegasan dalam mengambil keputusan yang tidak terkesan ambigu akan lebih memberikan efek yang positif bagi penegakan hukum. Pembatasan media informasi yang dilakukan pemerintah adalah sah manakala itu merupakan cara yang perlu dilakukan untuk mencegah mudahnya mengakses media-media informasi yang tidak menghormati nilai-nilai agama. 

Jika masalah berkaitan dengan  penanganan kasus semestinya aparat tidak memandang suku dan agama meskipun hukum itu berada di wilayah suku atau daerah tertentu. Jika ini tidak dilakukan akan berakibat adanya proses hukum masa "siapa yang kuat dialah yang menang" jika hal ini terjadi lalu apa peran pemerintah dan aparat keamanan? Karena kenyataanya sudah mulai tergerus nilai kesatuan dan persatuan karena munculnya paham primordialisme yang cenderung dapat berakibat fatal.

Tawuran massa baik dilakukan oleh orang dewasa maupun remaja disebabkan karena arus informasi yang sangat terbuka  hingga ada proses peniruan secara perlahan baik dalam bersikap maupun berprilaku. Hal ini dapat dicegah dengan kontrol media informasi dan tekhnologi agar informasi yang disampaikan tidak muncul reaksi negatif dalam masyarakat. Selain itu, peran lingkungan khususnya orang tua dan tokoh masyarakat dan adat semestinya sebagai penengah konflik horizontal bukan malah justru memperuncing masalah.

Akhir dari tulisan ini menegaskan bahwa ruang musyawarah dan rembuk masyarakat dengan mengesampingkan latar belakang suku, adat dan golongan serta agama sangat dibutuhkan agar masyarakat dapat menyelesaikan konflik secara komprehensif. Berikan ruang yang cukup bagi institusi hukum untuk menegakkan hukum seadil-adilnya bagi pelaku kejahatan dengan diimbangi kontrol masyarakat yang beradab dan menegakkan hukum sesuai dengan akhlak Rosulullah SAW. Sebagaimana disebutkan dalam Sabda Rosulullah SAW "Innama bu'itstu li utamimma makaarimal akhlaq" tidaklah aku (kata Nabi) diutus kedunia ini melainkan untuk menyempurnakan akhlaq) Serta disebutkan dalam hadits lain sebagai berikut:

عن عبد الله بن عمرو رضي الله عنهما قال : لم يكن النبي صلى الله عليه وسلم فَاحِشاً وَلاَ مُتَفَحِّشاً وَكَانَ يَقُوْلُ : إِنَّ مِنْ خِيَارُكُمْ أَحْسَنُكُمْ أًخْلاَقاً رواه البخاري.
Artinya:

Dari Abdullah bin Amru  berkata: Nabi  tidak pernah berbuat keji sendiri tidak pula berbuat keji kepada orang lain. Beliau bersabda: “Sesungguhnya termasuk sebaik-baik kalian adalah yang paling baik akhlaknya” (HR Bukhari)