Kamis, 17 April 2014

Kedudukan Niat dalam Aktifitas Manusia

Setiap muslim tentulah menghendaki segala yang dikerjakannya memberikan manfaat yang sebesar-besarnya. Sehingga, dengan aktifitas tersebut pelakunya mendapatkan dua keutamaan yaitu keutamaan untuk dirinya sendiri maupun bagi orang lain. Baik urusan yang menyangkut kehidupan dunia maupun kehidupan akhirat.

Sebagaimana disebutkan dalam hadits Nabi Muhammad SAW, sebagai berikut:

Dari Amirul Mu’minin, (Abu Hafsh atau Umar bin Khottob rodiyallohu’anhu) dia berkata: ”Aku pernah mendengar Rosululloh shollallohu’alaihi wassalam bersabda: ’Sesungguhnya seluruh amal itu tergantung kepada niatnya, dan setiap orang akan mendapatkan sesuai niatnya. Oleh karena itu, barangsiapa yang berhijrah karena Alloh dan Rosul-Nya, maka hijrahnya kepada Alloh dan Rosul-Nya. Dan barangsiapa yang berhijrah karena (untuk mendapatkan) dunia atau karena wanita yang ingin dinikahinya maka hijrahnya itu kepada apa yang menjadi tujuannya (niatnya).’” (Diriwayatkan oleh dua imam ahli hadits; Abu Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrohim bin Mughiroh bin Bardizbah Al-Bukhori dan Abul Husain Muslim bin Al-Hajjaj bin Muslim Al-Qusairy An-Naisabury di dalam kedua kitab mereka yang merupakan kitab paling shahih diantara kitab-kitab hadits)

Hadits di atas menegaskan bahwa aktifitas apapun yang dilakukan sangat bergantung kepada niatnya. Apakah niatnya karena dunia semata, untuk akhirat semata atau ingin memperoleh manfaat di dunia dan di akhirat.

Bahkan pekerjaan apapun jika dilakukan dengan niat yang benar, maka semua akan menjadi amal ibadah dan tentu saja mendapatkan pahala atas ibadah yang dikerjakannya. Tentu saja pekerjaan yang bermanfaat bagi orang lain dan bukan sebaliknya berusaha untuk mencelakakan.

Misalnya ketika seseorang itu melakukan pekerjaan yang halal dan memulai pekerjaannya dengan membaca bismillah serta meniatkan dirinya untuk beribadah kepada Allah SWT, maka pekerjaan tersebut bernilai ibadah. Bahkan tatkala baru sebatas niat saja dan belum melaksanakannya, maka niat itupun sudah dicatan menjadi ibadah.

Bekerja bukan karena ingin melakukan kejahatan dan tidak berusaha melakukan kerusakan baik bagi dirinya maupun orang lain, maka pekerjaannya pun dinilai sebagai ibadah. Namun sebaliknya, meskipun pekerjaan itu halal, tapi diniatkan karena ingin mendapatkan sesuatu yang digunakan untuk kejahatan, maka pekerjaan itupun akan dianggap tercela. 

Beribadahpun sejatinya harus diniatkan karena Allah SWT, bukan diniatkan karena manusia lainnya. Karena jika kita beribadah karena mengharapkan pujian dan sanjungan bahwa kita adalah ahli ibadah, maka ibadah kita dikategorikan sebagai Riya dan semua ibadah kita akan sia-sia.

Begitu pula dalam bekerja. Sejatinya pekerjaan yang baikpun harus diniatkan karena beribadah kepada Allah bukan bekerja karena diniatkan pada hal-hal yang diharamkan.

Seperti contoh, seseorang yang bekerja karena ingin membeli narkoba atau minuman keras, meskipun pekerjaan tersebut halal maka niatnya sudah masuk pada hal-hal yang dilarang oleh Allah SWT. Mereka tidak akan mendapatkan kebaikan sedikitpun dari pekerjaannya, tapi justru kemudharatan.

Oleh karena itu, sebaik-baik muslim apabila melakukan pekerjaan adalah pekerjaan yang halal dan diniatkan karena ingin beribadah kepada Allah SWT bukan semata-mata memperturutkan hawa nafsu dan kepentingan duniawi. Karena jika setiap pekerjaan yang kita lakukan karena ingin beribadah maka Allah mencatat pekerjaannya sebagai ibadah. Dan sebaliknya jika pekerjaan kita adalah pekerjaan yang haram serta diniatkan untuk sesuatu yang diharamkan pula maka pelakunya termasuk orang-orang yang mendapatkan dosa serta pekerjaannya akan sia-sia.

Wallahu a'lam, Salam.

Selasa, 01 April 2014

Ironi Perhatian Pemerintah Terhadap TKI, Sebuah Catatan Kasus-kasus TKI

Save TKI


Sampai hari ini berita terkait tenaga kerja Indonesia masih saja bergaung di penjuru tanah air. Tak lain dan tak bukan karena ada seorang TKI yang harus menjalani hukuman karena dianggap melakukan pembunuhan terencana dan dituduh telah mencuri harta majikannya. Ialah Satinah, seorang wanita pembantu rumah tangga yang harus rela bekerja di Arab Saudi demi mendapatkan penghasilan yang layak. 

Namun sayang sekali usaha Satinah untuk mendapatkan pekerjaan harus berbenturan dengan kasus hukum yang menimpanya. Kasus hukum yang sejatinya terjadi bukan tanpa sebab. Sebab yang bersangkutan mendapatkan siksaan dan penganiayaan yang mengakibatkan Satinah naik pitam. Sang majikan pun harus meregang nyawa lantaran dibunuh oleh Satinah. Kasus pembunuhan disebabkan penganiayaan dan sederet siksaan yang dialami oleh seorang tenaga kerja Indonesia.

Apakah Satinah bersalah? Tentu saja bersalah. Tapi persoalannya adalah  seorang wanita ini hanyalah seorang pekerja (bukan budak) yang sejatinya bereaksi lantaran kekerasan yang menimpa dirinya. Tak hanya Satinah, ada beberapa pekerja lain yang mendapatkan siksaan yang sama dan harus meregang nyawa lantaran siksaan dan pemerkosaan yang bertubi-tubi dari majikannya. 

Posisi Satinah hakekatnya dalam keadaan terjepit. Dan sepatutnya membela diri tatkala penganiayaan demi penganiayaan dialaminya. Boleh jadi tanpa Satinah melawan, maka korbannya justru pekerja ini. Sosok yang lemah dan terdesak karena tak ada satupun saudara yang bisa menolong lantaran siksaan yang diterimanya.

Yang lebih aneh lagi, melihat beberapa kasus yang menimpa Satinah dan TKI lainnya, sepertinya pemerintah tak memiki cukup power untuk melindungi para pahlawan devisa ini. Para pahlawan di mana para suam tak mampu lagi mencukupi kehidupan keluarganya.

Terkait beberapa majikan yang telah menyiksa para TKI, pun dibahas dalam Hadits Nabi Muhammad SAW. Di mana seorang pekerja mendapatkan perlakuan kasar (cambukan) dari majikannya lantaran majikannya dianggap melakukan kesalahan. Bagaimana respon Nabi melihat tindakan majikannya? Coba simak hadits berikut ini.

Abu Sa'id Al Badri berkata, "Aku sedang menyambuk budakku yang muda, lalu  aku mendengar suara orang menyeru dari belakangku. Orang itu berkata, "Ketahuilah hai Aba Mas'ud." Sungguh aku tidak tahu suara siapakah itu karena ketika itu aku sedang berang (marah). Ketika orang itu mendekatiku tahulah aku ternyata yang datang adalah Rasulullah Saw. Beliau berkata, "Ketahuilah hai Aba Mas'ud...Ketahuilah hai Aba Mas'ud." Mendengar perkataan itu aku campakkan cambuk dari tanganku. Beliau kemudian melanjutkan ucapannya, "Ketahuilah, hai Aba Mas'ud, sesungguhnya Allah lebih mampu bertindak terhadapmu daripada tindakanmu terhadap anak muda itu." Aku spontan menjawab, "Ya Rasulullah, dia sekarang ini aku merdekakan karena Allah." Nabi Saw berkata, "Kalau kamu tidak memerdekakannya maka api neraka akan menjilatmu." (HR. Muslim)

Berita penyiksaan dan penganiayaan TKI di Arab Saudi, semakin lama membuat hati ini miris. Alangkah kejamnya perlakuan beberapa masyarakat Arab Saudi terhadap pekerja Indonesia. Jika kita menelaah hadits di atas niscaya akan tergambar dengan jelas bahwa perlakuan majikan yang menyiksa sudah keluar dari tuntunan Rasulullah SAW. Rasul pun melarang majikan menyiksa pekerjanya, bahkan Rasulullah memerintahkan agar para budak itu dibebaskan.

Tapi, ketika melihat pelecehan dan penyiksaan terhadap TKI sepatutnya masyarakat Arab Suadi berkaca diri bahwa apa yang mereka perbuat sudah jauh dari ajaran Islam yang sempurna. Ajaran yang menghendaki penghargaan kepada penganutnya dan seluruh umat manusia. Bukan justru menganggap para pekerja ini sebagai budak yang pantas dilecehkan.

Bahkan, tatkala saya bandingkan dengan perlakuan pemerintah terhadap TKI, sepertinya tidak adil. Bahkan terkesan para TKI sebagai warga negara yang semestinya dilindungi tak lebih baik dari cara pemerintah melindungi seekor hewan.

Tak perlu jauh-jauh melihat sisi pembanding dari kedua makhluk ini, coba saja kita lihat bagaimana pemerintah begitu gencarnya  memberikan perlindung terhadap hewan-hewan liar yang “katanya” dilindungi negara. Dengan seperangkat undang-undang yang begitu tegasnya menghakimi para pelaku penjualan terlarang tersebut. Bahkan ketika para hewan ini dipelihara justru penghidupannya justru lebih mulia dari pada kehidupan manusia itu sendiri.

Pun dapat kita lihat dalam menangani persoalan kemanusiaan dan kehewanan. Manusia seringkali dianggap sampah yang selalu ditempatkan pada situasi yang “merana” karena tak terpenuhinya kebutuhan hidup mereka lantaran sulitnya mencari penghasilan. Akan berbeda pula dengan bagaimana negara menjamin kehidupan hewan liar di tempat penangkaran selayaknya makhluk yang mulia melebihi kemuliaan manusia itu sendiri. Ketika di antara saudara-saudara sesama manusia harus menahan lapar, ternyata hewan-hewan tersebut mendapatkan perlakuan yang sangat manusiawi. Tapi ketika manusia mengalami siksaan seakan-akan perlakuan mereka seperti kepada seekor hewan. Tak terlalu peduli bahkan dinggap tak berguna.

Jika kita melihat betapa banyak masyarakat Indonesia yang harus bersusah payah bekerja ke luar negeri dengan meninggalkan keluarga mereka. Meninggalkan kewajiban sebagai istri, orang tua dan anak dari orang tua mereka. Demi mencari kehidupan yang baik karena sulitnya mencari kehidupan di tanah air. Padahal sebagai bangsa yang “katanya” tanah kita tanah surga, sepantasnya bumi yang kaya ini mampu menghidupi warganya menjadi amat sejahtera dan berkecukupan. Tak perlu lagi mengadu nasib menjadi seorang PRT dengan taruhan nyawa dan siksaan yang pedih, jika di tanah air sendiri pemerintah “sanggup” mencukupi kebutuhan hidup dan memenuhi kebutuhan pekerjaan warga negaranya.

Tak sulit pula kita melihat bagaimana para hewan itu dipelihara dengan amat mulia, seekor anjing pun bisa menikmati daging dan susu setiap hari, tapi para pembantu rumah tangga mereka justru menikmati makanan yang hewanpun tak sudi memakannya.
Sebuah fakta riil, tatkala manusia justru derajatnya lebih rendah dari hewan. Manusia yang diciptakan Allah SWT sebagai khalifah yang semestinya mendapatkan tempat yang lebih layak daripada kehidupan hewan yang sepatutnya mereka diperlakukan selayaknya hewan.

Apakah hal ini merupakan bentuk pergeseran nilai-nilai kemanusiaan?

Negara-negara yang notabene negara “berkedok” Islam sering kali justru menunjukkan kerendahan budi pekerti warga negaranya. Mereka menganggap ajaran Islam yang sempurna itu hanya diperuntukkan pada Tuhan saja tanpa membumi dan memberikan rahmat kepada manusia yang lainnya. Termasuk di dalamnya para pekerja (TKI)yang berani berjuang di negeri orang demi sebuah kehidupan yang lebih baik.

Begitu banyaknya penyiksaan di Malaysia, Arab Saudi, Kuwait, bahkan Indonesia sendiri yang “katanya” adalah negara yang memiliki penduduk muslim terbesar ternyata pun jauh dari kata beradab. Manusia-manusia pekerja tak dihargai selayaknya manusia sebenarnya. Boleh jadi justru mereka dianggap sebagai “budak” yang pantas dipekerjakan secara massal dan tanpa dihargai kerja keras dan kucuran keringatnya. Padahal perbudakan sudah dihapuskan oleh Nabi Muhammad SAW, sebuah peristiwa tatkala manusia semakin dihargai sebagai makhluk terhormat.

Fakta inilah yang patut menjadi keprihatinan, apakah kekerasan, pelecehan terhadap pekerja (TKI), dan tidak memberi upah pada pekerja tak sebanding dengan kerja kerasnya telah diajarkan dalam Islam? Tentu saja semua orang Islam yang mengakui kebenaran Al-Qur’an dan hadits akan sepakat bahwa segala bentuk perbuatan zalim terhadap para pekerja sangat-sangat diharamkan.

Kembali kepada kondisi negara-negara muslim, saya sangat khawatir bahwa negara-negara tersebut hakekatnya justru melenceng dari makna rahmatin lil’alamin sebagaimana diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW. Mereka menghukum seseorang yang membunuh padahal sosok tersebut adalah seorang wanita yang diciptakan dengan ketidak berdayaan melawan majikannya. Ketika begitu lamanya mereka merasakan siksaan yang begitu lama maka tak dapat dipungkiri setiap orang yang berakal akan melawan dengan konsekuensi bertentangan dengan hukum itu sendiri. Memang benar membunuh adalah diharamkan dan dilarang menurut hukum negara, apalagi sesama umat Islam. Tapi apakah patut pula ketika segolongan umat yang “katanya” beragama Islam justru perbuatannya jauh dari ajaran Nabi Muhammad SAW. Mereka menyiksa, melecehkan bahkan memperkosa terhadap para pekerja wanita mereka? Sesesuatu yang sangat ironis.

Dan sayang sekali, Indonesia yang semestinya melindungi warga negaranya seperti tak berdaya, membiarkan rakyatnya bekerja sekaligus mengantarkan nyawa mereka di tiang gantungan atau di pancungan. Padahal sejatinya negara ini menjamin kehidupan warga negaranya sebagaiaman tertuang dalam UUD 1945. Dan kenapa tak sepatutnya rakyat sendiri dipekerjakan di negeri sendiri? Dan mendapatkan penghidupan yang layak sebagai manusia? Bukan justru kehidupan yang amat rendah melebihi hidupnya seekor hewan. 

Sebagai penutup tulisan ini Rasulullah pun bersabda :

Ada tiga golongan orang yang kelak pada hari kiamat akan menjadi musuhku. Barangsiapa menjadi musuhku maka aku memusuhinya. Pertama, seorang yang berjanji setia kepadaku lalu dia ingkar (berkhianat). Kedua, seorang yang menjual orang yang merdeka (bukan budak) lalu memakan uang harga penjualannya. Ketiga, seorang yang mengkaryakan (memperkerjakan) seorang buruh tapi setelah menyelesaikan pekerjaannya orang tersebut tidak memberinya upah.  (HR. Ibnu Majah)


Salam
Metro, 02/04/2014