Rabu, 28 Mei 2014

Puasa dan Kesehatan Jiwa

Berapa banyak orang yang berpuasa tapi hanya memperoleh lapar dan dahaga, dan berapa banyak orang yang melakukan shalat tahajud hanya mendapatkan kecapaian belaka. (Hadits)

Mencari orang-orang yang berpuasa di bulan Ramadhan tidaklah sulit, karena setiap umat Muslim memang diwajibkan berpuasa asalkan sesuai dengan rukun dan syaratnya. Karena otomatis jika dia mengaku muslim maka akan sangat dimungkinkan mereka berpuasa tak terkecuali orang tua renta maupun anak-anak sekalipun meskipun hanya sebagai program latihan.

Tidak sulit pula mencari orang yang terlihat mematikan kompor di siang hari, ditutupnya restauran dan tempat hiburan malam dan insan-insan yang dengan ikhlas menahan untuk mengkonsumsi semua jenis makanan termasuk menahan diri untuk bertemu istri-istri maupun suami-suami mereka demi untuk melepas kerinduan (berhubungan intim) selayaknya di luar bulan suci Ramadhan.

Akan tetapi, sulit dan teramat sulit memilah dan memilih orang yang benar-benar menjalankan puasa yang tidak sekedar menahan makan dan minum serta menahan hubungan seksual suami istri di mana orang tersebut benar-benar menghindarkan dirinya untuk tidak bersikap sombong, angkuh, emosional, iri dengki, dan juga boros ketika mereka menjalan puasa.

Beberapa indikator yang disebutkan di atas sebenarnya merupakan elemen jiwa yang sungguh tidak mudah untuk dihindari meskipun kepada orang yang berjuluk ulama sekalipun karena puasa tidak terbatas pada siapa yang menjalankan (termasuk status sosial) akan tetapi bagaimana mereka menjalankannya, benar-benar menjaga kebersihan jiwanya dengan mencegah salah satu elemen di atas atau hanya terbatas puasanya orang awam walaupun bisa jadi orang awam malah justru mereka menjalankan puasa dengan dimensi religius tertinggi.

Ulama membagi puasa menjadi tiga model, pertama puasanya awam dimana pelakunya adalah orang-orang yang rendah keilmuannya dan taqorubnya (pendekatannya) kepada Allah menurut ulama mereka cenderung memahami puasa hanya terbatas menahan lapar dan dahaga saja tapi melupakan aspek lain yang semestinya ditinggalkan seperti menahan diri untuk tidak mengumpat, mencela, menghina atau sekedar berbicara yang tidak penting dan tidak melihat sesuatu yang yang tidak dibenarkan oleh agama, yang kedua puasa orang khowas yaitu puasanya pada ulama, di mana mereka melakukan puasa menyangkut dimensi yang lebih baik dari masyarakat awam karena kedalaman ilmu dan tingkatan ketakwaannya, puasa ketiga khowasu khowas yaitu puasanya para nabi dimana dimensi ketuhanannya sangat istimewa jadi puasa mereka tidak hanya sekedar mengontrol nafsu yang bersifat fisik saja akan tetapi juga mengontrol nafsu psikis (rohani).

Namun, apakah puasa benar-benar berkaitan dengan kesehatan jiwa pelakunya? Sedangkan kita melihat di sekitar kita orang-orang yang berpuasa tapi lupa kalau mereka berpuasa, seperti berbohong dalam berdagang, mencampur adukkan dagangannya dengan barang yang buruk, menaikkan harga semau mereka hingga membebani para pembelinya, emosi dan tawuran masih menjadi rutinistas harian, berfoya-foya dalam belanja, disiplin pekerja yang tidak juga menunjukkan peningkatan yang positif, dan seabrek aktifitas fisik yang justru meninggalkan nilai-nilai dari kejiwaan (rohani).

Seperti halnya Daradjat (1995:11) dalam artikel Pengaruh Puasa Terhadap Kesehatan Mental  Oleh: Dra. Siti Uriana Rahmawati Fuad, MA  memberi definisi kesehatan mental (jiwa), antara lain:
  1. Kesehatan mental adalah terhindarnya seseorang dari gejala gangguan jiwa (neurose) dan dari gejala-gejala penyakit jiwa (psychose).
  2. Kesehatan mental adalah kemampuan untuk mnyesuaikan diri dengan diri sendiri, dengan orang lain dan masyarakat serta lingkungan di mana ia hidup.
  3. Kesehatan mental adalah pengetahuan dan perbuatan yang bertujuan untuk mengembangkan dan memanfaatkan segala potensi, bakat, dan pembawaan yang ada semaksimal mungkin, sehingga membawa kepada kebahagiaan diri dan orang lain, serta terhindar dari gangguan dan penyakit jiwa.
  4. Kesehatan mental adalah terwujudnya keharmonisan yang sungguh-sungguh antara fungsi-fungsi jiwa serta mempunyai kesanggupan untuk menghadapi problem-problem yang biasa terjadi, dan merasakan secara positif kebahagiaan dan kemampuan dirinya.
Psikiater terkemuka Prof . Dr. dr. Dadang Hawari mengatakan agama sangat bermanfaat untuk terapi dan memelihara kesehatan jiwa yang diadopsi psikiater dalam mengobati pasien mengalami gangguan kejiwaan melalui konsep BPSS (Biology, Psychology, Social and Spiritual).

Lebih lanjut beliau mengungkapkan bahwa dengan menjalankan Rukun Islam (puasa-pen.) dan Rukun Iman, seorang muslim mampu mengendalikan diri dan tercegah segala perbuatan keji dan munkar. Selian mengingatkan dengan Mo-Lomo (5-M), seperti dituangkan dalam bukunya berjudul ‘Gerakan Nasional Anti Mo-Limo’ dan ‘Love Affairs (Perselingkuhan) Prevensi dan Solusi’ (Madanionline.org)

Jika kita menelaah konsep di atas maka semestinya ketika seseorang berpuasa maka akan memberikan dampak yang signifikan terhadap kesehatan jiwanya, namun jika seseorang tidak benar-benar berpuasa maka sudah dapat dipastikan kesehatan jiwanya akan terganggu. Hal ini dibuktikan meskipuan setiap tahun kita menjalankan puasa ternyata masih ada saja pribadi-pribadi yang mengalami sakit jiwa (termasuk di dalamnya stress, frustasi, iri, dengki, pemarah dan curang dan segala bentuk kejahatan (kebatilah) yang akan berujung merugikan dirinya maupun orang lain.

Kemudian, kenapa di antara mereka yang berpuasa ternyata masih saja melakukan kemaksiatan, melakukan kerusakan di mana-mana, korupsi, curang dalam berdagang, perceraian di mana-mana bahkan perselingkuhan masih saja menjadi buah bibir di kalangan birokrat di negeri ini?

Jawabannya terletak pada pelakunya, sudah benarkah mereka berpuasa atau hanya sebuah ritual/ tradisi yang dikerjakan agar tidak dicap orang yang menentang agama atau menjadikan agama hanya sebagai tameng?

Jika melihat model-model puasa seperti di atas semestinya puasa khowashul khowash yakni puasanya para Nabi dengan menggabungkan elemen jasmani dan rohani, mengikatkan jiwa disamping logika dan nilai-nilai ilahiah yang akan menjadi rujukan dan contoh bagaimana kita berpuasa sehingga tidak ada kesan bahwa puasa kita sia-sia karena tidak ada yang berbeda antara kita (sudah) berpuasa maupun tidak.

Artikel ini pertama kali dipublish di: Kompasiana.com