Berapa banyak orang yang berpuasa tapi hanya memperoleh lapar dan dahaga, dan berapa banyak orang yang melakukan shalat tahajud hanya mendapatkan kecapaian belaka. (Hadits)
Mencari orang-orang yang berpuasa di bulan Ramadhan tidaklah sulit, karena setiap umat Muslim memang diwajibkan berpuasa asalkan sesuai dengan rukun dan syaratnya. Karena otomatis jika dia mengaku muslim maka akan sangat dimungkinkan mereka berpuasa tak terkecuali orang tua renta maupun anak-anak sekalipun meskipun hanya sebagai program latihan.
Tidak sulit pula mencari orang yang
terlihat mematikan kompor di siang hari, ditutupnya restauran dan tempat
hiburan malam dan insan-insan yang dengan ikhlas menahan untuk
mengkonsumsi semua jenis makanan termasuk menahan diri untuk bertemu
istri-istri maupun suami-suami mereka demi untuk melepas kerinduan
(berhubungan intim) selayaknya di luar bulan suci Ramadhan.
Akan tetapi, sulit dan teramat sulit
memilah dan memilih orang yang benar-benar menjalankan puasa yang tidak
sekedar menahan makan dan minum serta menahan hubungan seksual suami
istri di mana orang tersebut benar-benar menghindarkan dirinya untuk
tidak bersikap sombong, angkuh, emosional, iri dengki, dan juga boros
ketika mereka menjalan puasa.
Beberapa indikator yang disebutkan di
atas sebenarnya merupakan elemen jiwa yang sungguh tidak mudah untuk
dihindari meskipun kepada orang yang berjuluk ulama sekalipun karena
puasa tidak terbatas pada siapa yang menjalankan (termasuk status
sosial) akan tetapi bagaimana mereka menjalankannya, benar-benar menjaga
kebersihan jiwanya dengan mencegah salah satu elemen di atas atau hanya
terbatas puasanya orang awam walaupun bisa jadi orang awam malah justru
mereka menjalankan puasa dengan dimensi religius tertinggi.
Ulama membagi puasa menjadi tiga model,
pertama puasanya awam dimana pelakunya adalah orang-orang yang rendah
keilmuannya dan taqorubnya (pendekatannya) kepada Allah menurut ulama
mereka cenderung memahami puasa hanya terbatas menahan lapar dan dahaga
saja tapi melupakan aspek lain yang semestinya ditinggalkan seperti
menahan diri untuk tidak mengumpat, mencela, menghina atau sekedar
berbicara yang tidak penting dan tidak melihat sesuatu yang yang tidak
dibenarkan oleh agama, yang kedua puasa orang khowas yaitu puasanya pada
ulama, di mana mereka melakukan puasa menyangkut dimensi yang lebih
baik dari masyarakat awam karena kedalaman ilmu dan tingkatan
ketakwaannya, puasa ketiga khowasu khowas yaitu puasanya para nabi
dimana dimensi ketuhanannya sangat istimewa jadi puasa mereka tidak
hanya sekedar mengontrol nafsu yang bersifat fisik saja akan tetapi juga
mengontrol nafsu psikis (rohani).
Namun, apakah puasa benar-benar
berkaitan dengan kesehatan jiwa pelakunya? Sedangkan kita melihat di
sekitar kita orang-orang yang berpuasa tapi lupa kalau mereka berpuasa,
seperti berbohong dalam berdagang, mencampur adukkan dagangannya dengan
barang yang buruk, menaikkan harga semau mereka hingga membebani para
pembelinya, emosi dan tawuran masih menjadi rutinistas harian,
berfoya-foya dalam belanja, disiplin pekerja yang tidak juga menunjukkan
peningkatan yang positif, dan seabrek aktifitas fisik yang justru
meninggalkan nilai-nilai dari kejiwaan (rohani).
Seperti halnya Daradjat (1995:11) dalam artikel Pengaruh Puasa Terhadap Kesehatan Mental Oleh: Dra. Siti Uriana Rahmawati Fuad, MA memberi definisi kesehatan mental (jiwa), antara lain:
- Kesehatan mental adalah terhindarnya seseorang dari gejala gangguan jiwa (neurose) dan dari gejala-gejala penyakit jiwa (psychose).
- Kesehatan mental adalah kemampuan untuk mnyesuaikan diri dengan diri sendiri, dengan orang lain dan masyarakat serta lingkungan di mana ia hidup.
- Kesehatan mental adalah pengetahuan dan perbuatan yang bertujuan untuk mengembangkan dan memanfaatkan segala potensi, bakat, dan pembawaan yang ada semaksimal mungkin, sehingga membawa kepada kebahagiaan diri dan orang lain, serta terhindar dari gangguan dan penyakit jiwa.
- Kesehatan mental adalah terwujudnya keharmonisan yang sungguh-sungguh antara fungsi-fungsi jiwa serta mempunyai kesanggupan untuk menghadapi problem-problem yang biasa terjadi, dan merasakan secara positif kebahagiaan dan kemampuan dirinya.
Psikiater terkemuka Prof . Dr. dr.
Dadang Hawari mengatakan agama sangat bermanfaat untuk terapi dan
memelihara kesehatan jiwa yang diadopsi psikiater dalam mengobati pasien
mengalami gangguan kejiwaan melalui konsep BPSS (Biology, Psychology,
Social and Spiritual).
Lebih lanjut beliau mengungkapkan bahwa
dengan menjalankan Rukun Islam (puasa-pen.) dan Rukun Iman, seorang
muslim mampu mengendalikan diri dan tercegah segala perbuatan keji dan
munkar. Selian mengingatkan dengan Mo-Lomo (5-M), seperti dituangkan
dalam bukunya berjudul ‘Gerakan Nasional Anti Mo-Limo’ dan ‘Love Affairs
(Perselingkuhan) Prevensi dan Solusi’ (Madanionline.org)
Jika kita menelaah konsep di atas maka
semestinya ketika seseorang berpuasa maka akan memberikan dampak yang
signifikan terhadap kesehatan jiwanya, namun jika seseorang tidak
benar-benar berpuasa maka sudah dapat dipastikan kesehatan jiwanya akan
terganggu. Hal ini dibuktikan meskipuan setiap tahun kita menjalankan
puasa ternyata masih ada saja pribadi-pribadi yang mengalami sakit jiwa
(termasuk di dalamnya stress, frustasi, iri, dengki, pemarah dan curang
dan segala bentuk kejahatan (kebatilah) yang akan berujung merugikan
dirinya maupun orang lain.
Kemudian, kenapa di antara mereka yang
berpuasa ternyata masih saja melakukan kemaksiatan, melakukan kerusakan
di mana-mana, korupsi, curang dalam berdagang, perceraian di mana-mana
bahkan perselingkuhan masih saja menjadi buah bibir di kalangan birokrat
di negeri ini?
Jawabannya terletak pada pelakunya,
sudah benarkah mereka berpuasa atau hanya sebuah ritual/ tradisi yang
dikerjakan agar tidak dicap orang yang menentang agama atau menjadikan
agama hanya sebagai tameng?
Jika melihat model-model puasa seperti
di atas semestinya puasa khowashul khowash yakni puasanya para Nabi
dengan menggabungkan elemen jasmani dan rohani, mengikatkan jiwa
disamping logika dan nilai-nilai ilahiah yang akan menjadi rujukan dan
contoh bagaimana kita berpuasa sehingga tidak ada kesan bahwa puasa kita
sia-sia karena tidak ada yang berbeda antara kita (sudah) berpuasa
maupun tidak.
Artikel ini pertama kali dipublish di: Kompasiana.com